Jelang Lebaran, para pedagang di sentra penjualan kerajinan tangan dan alat kebutuhan rumah tangga Lopait bisa tertawa lebar. Mereka kebanjiran pembeli. Kemacetan panjang kendaraan pemudik yang melintasi jalan alternatif yang menghubungkan wilayah Semarang-Solo tersebut membawa berkah bagi pedagang di Lopait.
Ruas
sempit Jalan Fatmawati , Semarang, selalu diwarnai kemacetan. Sebab,
banyak pedagang kerajinan tangan dan alat-alat rumah tangga menggelar
dagangannya di ruas ini.
Volume kendaraan semakin bertambah padat
dan memperparah kemacetan saat menjelang Lebaran. Maklum, jalan ini
menjadi jalur alternatif Semarang-Solo. Ruas ini juga menjadi akses
menuju berbagai lokasi rekreasi, seperti Rawapermai dan Pasar Industri
Kecil dan Kerajinan (PIKK). Tak pelak, antrean kendaraan makin panjang.
Kemacetan
ini jelas membuat para pengemudi atau penumpang acap hilang
kesabarannya. Namun para pedagang barang kerajinan dan alat rumah tangga
Lopait justru senang menyambut kemacetan arus mudik. Saat itu, banyak
orang yang berhenti di Lopait untuk beristirahat sejenak sembari
menunggu terurainya kemacetan di jalan raya. Situasi ini menjadi
kesempatan para pedagang di sentra perkakas Lopait menawarkan
dagangannya.
Biasanya, pada musim mudik Lebaran, para pedagang di
sentra Lopait mendapat limpahan rezeki. Seorang pedagang kerajinan bisa
mendapatkan omzet Rp 1 juta hingga Rp 2 juta per hari.
Karena
itu, satu bulan menjelang Lebaran, para pedagang ini menambah stok satu
hingga dua kali lipat. Ini untuk mengantisipasi lonjakan para pemudik.
"Saat itu, saya bisa menghabiskan uang Rp 500.000 sekali belanja stok,"
ujar Ngateni, pedagang di Lopait.
Asnah, pedagang barang
kerajinan dan alat rumah tangga lain menambahkan, puncak keramaian untuk
berdagang adalah lima hari menjelang Lebaran hingga satu minggu
setelah Lebaran usai. "Jadi, biasanya saya ambil cuti dua hari, saat
Lebaran pertama dan kedua saja," ujar Ngateni.
Saat itu,
dagangan Ngateni yang banyak diburu oleh pembeli adalah produk kerajinan
yang terbuat dari gerabah. Adapun dagangan Nuryanto yang laris diserbu
pembeli adalah wajan alias penggorengan. "Pembeli yang datang
kebanyakan dari luar kota," imbuh Nuryanto.
Suprapto, seorang
pengunjung Lopait, misalnya, berasal dari Tegal, Jawa Tengah. Ia sengaja
menyempatkan diri mampir ke Lopait untuk membeli oleh-oleh bagi
keluarganya. "Dengan kualitas standar, harga yang ditawarkan pedagang
Lopait lebih murah ketimbang di kampung saya," ujar dia kepada KONTAN.
Namun,
musim hujan menjadi kendala bagi pedagang ini. Banyak orang yang enggan
mampir ke Lopait saat hujan tiba. Mereka memilih bertahan di dalam
mobil sambil menunggu kemacetan. Kalau sudah begini, para pedagang hanya
bisa berharap hujan berhenti.
Selain itu, musim hujan juga
menyebabkan para pedagang ini lebih sibuk. Barang kerajinan yang
berbahan kayu dan lempung rentan terhadap hujan. "Kami harus tutup buka
kerudung kalau hujan turun," ujar Nuryanto. Hal lain yang membuat mereka
was-was adalah rencana pemerintah daerah yang akan melebarkan jalan
raya yang menghubungkan Semarang-Solo, termasuk ruas Tuntang, Lopait.
Bila terlaksana, lokasi berdagang bakal tergusur pelebaran jalan.
Rencana
pelebaran itu pula yang sempat membuat niat Suminah maju mundur membuka
lapak di Jalan Fatmawati. "Saya sempat ragu, antara sesudah dilebarkan
atau sekarang," ujarnya. Lantaran tak kunjung terlaksana rencana
pelebaran jalan itu, Suminah nekat membuka lapak kerajinan dan beragam
perkakas rumah tangga.
Mereka berharap bila kelak jalan
benar-benar dilebarkan, pemerintah daerah menyediakan lahan yang menjadi
sentra dagang kerajinan dan perkakas rumah tangga. Selain harus
strategis atau dekat dengan jalan raya, tempat itu juga harus memiliki
lahan parkir.
Agar para pedagang di Lopait bisa ikut membeli
lapak, mereka berharap ada pinjaman modal dengan bunga yang ringan.
"Jangan bank-bank pinggir jalan yang bunganya melangit," begitu harapan
Nuryanto.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !