Cerita : Sejarah Desa Lopait - desa lopait
Headlines News :
Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Cerita : Sejarah Desa Lopait

Cerita : Sejarah Desa Lopait

Written By Unknown on Selasa, 07 Januari 2014 | 15.33


Hari yang dinanti-nantikan dengan sukacita tiap satu tahun sekali oleh semua umat muslim di seluruh penjuru dunia sekarang telah tiba. Ya. . . .Pada hari ini, adalah hari pertama puasa di bulan ramadhan, bulan yang penuh dengan kemenangan. Seperti semua orang telah mengetahuinya, puasa tak sekedar hanya untuk menahan perut yang lapar dan dahaga haus saja, lebih dari itu syarat puasa yang lainnya adalah untuk menahan diri dari semua hal-hal negatif yang telah dilarang oleh agama-yang dapat membatalkan puasa seorang muslim itu sendiri, khususnya godaan-godaan menggiurkan yang berasal dari setan yang menyebabkan manusia menjadi khilaf.
Seperti sudah menjadi tradisi dan sudah menjadi kebiasaan bagi warga pendatang atau orang-orang rantauan yang mengadu nasib mereka di ibukota Jakarta. Maka dapat dipastikan, 2 sampai 1 minggu sebelum hari raya Idul Fitri tiba. Mereka akan berbondong-bondong memadati tempat-tempat angkutan jasa. Entah itu, bandara, pelabuhan, stasiun kereta api, atau terminal bus antar kota. Tempat-tempat angkutan jasa tersebut dapat dipastikan sangat ramai, padat, dan penuh sesak akan hiruk pikuk para pemudik. Pusat-pusat perbelanjaan, seperti mall-mall modern yang menjulang besar lagi tinggi yang bertebaran disana-sini-di tengah-tengah sampai di sudut-sudut kota Jakarta pun tak kalah ramainya, tak kalah padatnya, dan tak kalah sesaknya akan hiruk pikuk orang-orang yang ingin menyambut hari raya idul fitri dengan segalanya yang serba baru.

Karena hal-hal diatas itulah, hampir semua masjid yang pada awal bulan ramadhan sangatlah ramai dipadati oleh orang-orang muslim yang hendak ingin melaksanakkan shalat tarawih, berbanding kontras selama 2 sampai 1 minggu sebelum hari raya idul fitri tiba. Maka jangan heran jika seorang penceramah tarawih di suatu masjid pada saat mengangkat tema tentang hal tersebut-sambil berdiri diatas mimbar masjid. Ia akan berbicara cukup keras, lantang, dan raut wajahnya menggambarkan kalau ia seperti sedang kesal, geram, dan sangat kecewa melihat saf-saf yang tadinya sangatlah ramai dipadati oleh para makmum hingga menjulur keluar dari dalam area masjid, tetapi faktanya yang ada sekarang hanya 5 sampai 7 saf saja. Lebih kacau lagi, pada saat bulan ramadhan tinggal menyisakkan 7 sampai 2 hari saja, maka dapat dipastikan hanya 5-7 saf yang memenuhi area dalam masjid.
Bulan ramadhan ini memang bulan penuh kemenangan dengan segala kemenangan-kemenangan-Nya. Anugerah kemenangan-Nya itu telah terbukti dari beberapa hal.
Tak menutup mata, bila setiap tahunnya para tunawisma, pengemis, anak-anak jalanan, dll. Semakin banyak jumlahnya beredar bak seperti koran di sudut-sudut jalan kota Jakarta. Satu hal alasannya, masalah ekonomi. Biarpun begitu, mereka seolah mendapatkan berkah dari-Nya pada bulan kemenangan ini.
“Kelaparan ?. . . .”
“Kami tak peduli. . . .”!. Mungkin begitulah maksud mereka menyikapi bulan kemenangan ini.
Ya. . . .Tidak ada lagi yang namanya kelaparan yang mendera mereka dengan hebatnya, seperti yang telah mereka rasakan di bulan-bulan yang terdahulu. Di bulan ramadhan ini hidup mereka seperti telah bersertifikat oleh yang maha kuasa, bergaransi, dan cukup terjamin. Karena saat buka puasa atau pada saat sahur tiba, banyak masjid-masjid atau orang-orang dermawan yang menghibahkan aneka jenis makanan dan minuman khas bulan ramadhan atau juga nasi bungkus, khusus untuk mereka.
Kemenangan dengan ganjaran pahala yang melimpah ruah pun diraih untuk sebagian orang-orang muslim yang selalu patuh dan taat melaksanakkan segala perintah-Nya. Seperti berpuasa sebulan penuh, shalat lima waktu, dan bertadarus setiap malam hari.
Selain itu, “kemenangan” juga diraih oleh sebagian orang yang berprofesi menjadi calo-calo tiket yang banyak berkeliaran di berbagai tempat-tempat angkutan jasa. Apalagi kalau bukan bertujuan untuk memanfaatkan situasi yang sedang terjadi dengan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari para pemudik yang hendak ingin mudik ke kota kelahirannya tetapi mereka tak kebagian tiket atau tempat duduk, khususnya tiket atau tempat duduk pada angkutan jasa kereta api atau bus.
Kemenangan di bulan ini juga diraih oleh perusahaan-perusahaan swasta atau instalasi negeri yang menaungi dan mengatasi berbagai tempat-tempat angkutan jasa tersebut. Para atasan-atasan atau pimpinan-pimpinan yang bekerja di beberapa tempat angkutan jasa seolah mendadak menjadi “kaya” pada bulan ini, karena mereka mendapatkan laba yang sangat besar jumlahnya. Tak lupa, bawahan-bawahannya pun seolah kecipratan bonus dari para atasan-atasan mereka.
Dan juga kemenangan-kemenangan-Nya yang lain yang sangatlah banyak dan tak terhingga.
Satu hari menjelang hari raya lebaran Idul Fitri atau yang telah sangat populer dikenal oleh para pemudik dengan H-1 (Hari Minus 1), adalah hari dimana puncak dari segala arus mudik. Ramai, macet, dan padat akan kendaraan-kendaraan besi-baik itu roda dua, tiga, dan empat adalah sebuah gambaran dari rute-rute jalan raya yang menjadi jalur utama untuk para pemudik.
Hal diatas tersebut sangat kontras dibandingkan dengan apa yang terjadi di Jakarta pada saat H-1 tiba. Sepi, sunyi senyap, lengang dan tak ada lagi kegeraman atau langkanya kata-kata sumpah serapah yang mengalir deras dari mulut-mulut para pengendara kendaraan-kendaraan besi yang sudah tak sabar lagi terjebak dengan kemacetan yang kerap saja terjadi di ibukota, kapanpun dan dimanapun.
Seperti sudah menjadi sesuatu kebiasaan bagi keluargaku karena kami adalah salah satu dari beberapa orang-orang rantauan yang telah lama menetap untuk mencari penghidupan yang lebih dari cukup di ibukota Jakarta. Maka di setiap tahunnya-di setiap H-1 pada bulan ramadhan-kami merencanakan untuk pergi mudik keluar kota. Tepatnya ke kota Semarang, Salatiga, di desa Lopait-tempat dimana rumah kakek dan nenek dari ibuku tinggal saat ini.
Sudah bertahun-tahun lamanya. Setiap mudik, setiap liburan sekolah, atau setiap ada keperluan yang sangat penting dan mendesak. Entah itu, ada acara perlangsungan pernikahan dari salah satu keluarga atau ada saudara yang menghadap-Nya, karena semua keluarga besar dari ibuku banyak yang menetap di desa itu. Angkutan jasa kereta api adalah angkutan yang dengan setia kami gunakan untuk berpergian ke kampung halaman ibuku.
Kami biasa membeli tiket kereta api kelas bisnis untuk pulang ke kampung halaman karena harganya yang relatif sedang dan terjangkau, suasana didalam keretanya pun cukup nyaman. Sebelum kehabisan beberapa lembar tiket kereta api kelas bisnis untuk mudik pada tahun ini, maka bapakku sudah menyiasatinya dengan membeli tiket sehari sebelum bulan ramadhan tiba. Siasat dan strategi yang digunakkan bapak cukup efektif dan sangat jitu. Kini beberapa lembar tiket dengan nomor tempat duduk telah berada di tangan kami. Sehingga nantinya selama di perjalanan kami bisa bersandar di kursi dengan nyaman, tanpa harus menggelar beberapa lembar koran dibawah-bawah kursi untuk dijadikan alas tempat duduk karena tak kebagian kursi di kereta, seperti yang telah kami rasakan beberapa kali dulu.
Tak terasa sudah aku telah berpuasa hampir sebulan penuh lamanya tanpa sekalipun mengkhianati indah-Nya dari nikmat puasa yang telah aku jalani selama ini. Hari ini-tepatnya pagi ini adalah hari akhir di bulan ramadhan (H-1). Sesuai dengan rencana yang telah difikirkan masak-masak, maka kami harus sudah tiba di stasiun senen satu jam sebelum jadwal keberangkatan kereta api fajar utama juruan akhir Semarang Tawang.
Pagi ini masih buta. Udara pun masih agak dingin dan sejuk untuk ukuran sebuah kota besar yang telah ditumbuhi banyak gedung-gedung pencakar langit. Tingkah polah dari para kawanan burung seolah mewarnai langit biru pada pagi ini dan suara nyanyiannya masih akan dan terus berkicau mengalun begitu indahnya selama pagi buta ini berlangsung. Sementara ini, jalan-jalan protokol di Jakarta yang setiap jam-jam tertentu macet masih nampak lengang ketika kami melintas menuju stasiun senen dengan menumpang kendaraan besi berkarat beroda tiga (bajaj) sekaligus berwarna, aduhai. . . . alangkah ngejrengnya, merah.
Di atas aspal jalan raya telah berlangsung sebuah film yang berdurasi sekitar 15 menit tentang tema pelarian dari sebuah kendaraan besi berkarat beroda tiga menuju stasiun senen. Ya. . . . Selama 15 menit, kendaraan besi berkarat beroda tiga itu berlari-lari tak peduli dengan sangat maksimal dari kecepatan maksimum laju kendaraan besi berkarat itu. Dan sementara ini, tubuh kami melonjak-lonjak dan terantuk-antuk demikian hebatnya, beradu dengan tas-tas dan barang-barang bawaan kami yang cukup berat dan sekarang sedang kami pangku.
Ah. . . . Aku lega rasanya, karena kini tubuh kami sudah kembali dengan normal seperti sedia kala dan tak lagi melonjak-lonjak hebat. Karena kini, kami sudah turun dari kendaraan besi berkarat beroda tua yang tarifnya bila pandai menawar sangatlah merakyat itu. Tetapi sejujurnya kedua kakiku ini masih saja terasa nyeri dan kesemutan, karena selama di kendaraan besi berkarat itu kedua pahaku memangku tas-tas besar lagi berat.
Kedatangan kami tak disambut dengan kalungan bunga dan tarian khas Hawai dengan para penari wanitanya yang menggunakkan pakaian bikini yang sedang asyik menarikan goyang pinggul, karena kami sekarang memang sedang bukan berada disana tetapi di stasiun senen, ya. . . . Stasiun senen. Bisa dibilang stasiun ini adalah stasiun kelas 2 setelah stasiun gambir, karena kereta-kereta disini bermaterikan kelas ekonomi dan kelas bisnis. Kalah pamor dengan stasiun gambir yang bermaterikan kereta api kelas executive.
Beberapa loket tiket yang dipadati oleh antrian panjang dari para pemudik yang dengan rasa kesetiaannya rela mengantri untuk mendapatkan selembar tiket adalah sesungguhnya “sambutan” untuk kami setelah turun dari kendaraan besi berkarat beroda dua itu. Pemandangan yang sekarang kami saksikkan, persis sama ketika kami menyaksikan pemandangan tersebut di sebuah layar kaca. Dalam acara berita sore yang 50% isi acaranya meliputi tentang para pemudik yang ingin mudik ke kota kelahirannya, rute-rute jalan apa saja yang dilalui oleh para pemudik, dan jalan-jalan alternatif apa saja yang tersedia bila jalan utama macet tak terkendali karena adanya pasar tumpah di beberapa daerah, dll.
Meskipun beberapa loket tetap dibuka pada pagi ini, tetapi mereka (para pemudik) sudah tahu dengan sangat jelas dan pasti. Kalau pun seandainya mereka dapat membeli tiket, mereka takkan mendapatkan tempat untuk duduk didalam kereta api. Sementara ini di beberapa loket yang menjual tiket untuk jurusan kota-kota besar di pulau jawa telah memajang sebuah pesan singkat diatas selembar kertas persegi empat yang ditempelkan di tengah-tengah kaca loket, kertas pesan itu dibalut erat dengan solasi berwarna putih transparan. Sebuah kata dari pesan itu ditulis cukup besar dan ke-semuanya huruf kapital. Maka aku yang sedang duduk sekitar 20 meter dari samping loket pun masih terlihat nampak jelas, sebuah pesan dari kertas itu tertulis HABIS.
Suasana tak kalah ramainya dengan di luar stasiun-tempat dimana loket-loket itu berada. Didalam stasiun pun masih saja ramai dan mungkin disini lebih ramai. Suasana ramai masih menghinggapi ketika aku telah berada di dalam kereta api fajar utama. Ramai dengan hilir mudik para penumpang yang terlihat sedang kebingungan mencari nomor tempat duduk mereka. Sementara ini, sebagian para pemudik yang tak kebagian tempat duduk telah membooking tempat-tempat strategis di dalam kereta. Sela-sela antara tempat duduk yang satu dengan yang satunya lagi-yang berlainan arah, dan jalan yang berada dekat dengan pintu kereta atau bahkan WC adalah tempat-tempat yang strategis itu.
Tak sulit untuk mencari nomor tempat duduk di gerbong 6 pada kereta api fajar utama. Sekali melintas di dalam gerbong 6, kami lalu mendapatkan nomor tempat duduk yang kami tuju, yaitu 7A-7B dan 8A-8B.
Selama setengah jam aku duduk santai di dalam kereta dengan mendengarkan salah satu stasiun radio FM dari sebuah walkmanku. Sementara kedua kupingku kubiarkan asyik mendengarkan beberapa lagu dan kedua sorot mataku kubiarkan asyik membaca tiap-tiap lembaran berita hangat tentang persepakbolaan Indonesia dan Eropa dari salah satu koran olahraga yang sangat terkenal di Jakarta.
Tiba-tiba saja alunan suara dari nada keyboard berbunyi, dipadu dengan suara bass dari mulut pria setengah baya di dalam speaker toa bermulut besar. Dua suara itu langsung memecah kepadatan pagi ini di dalam stasiun, memecah juga kepadatan penumpang di dalam kereta yang kelihatannya beberapa diantara mereka sudah tak sabar menunggu kereta untuk secepatnya bergerak untuk berangkat.
“Prriiiiiitttttttt. . . . .”.
Alunan suara nada keyboard yang dipadu dengan suara bass dari mulut pria setengah baya langsung disambut dengan lengkingan suara keras dari peluit yang sekarang sedang ditiupkan oleh seorang pegawai stasiun, lengkingan suara peluitnya bak seperti suara terompet sangkakala yang ditiupkan pada hari akhir umur bumi ini. Meskipun tiupan peluit itu tidak mengakibatkan nyawa melayang.
Sembari meniup peluit, pegawai stasiun itu mengacungkan ke arah atas sebuah tongkat berbahan stainless steil, tingginya kurang lebih mencapai 20 cm dengan ujungnya yang berbentuk bulat dan berwarna hijau. Ke-semua itu memberikan tanda, kalau kereta api fajar utama jurusan akhir Semarang Tawang dipersilahkan untuk segera berangkat. Lagipula, waktu pun sudah menunjukan pukul 07:45 dan itu adalah jadwal keberangkatan dari kereta api fajar utama.
Rangkaian gerbong kereta yang berjumlah 10 buah berikut satu buah gerbong kepala kereta dan satu buah gerbong restorasi (gerbong yang menjadi dapur) bergerak berangkat meninggalkan stasiun dengan laju perlahan-lahan bertambah kencang, berlari diatas bantalan rel kereta api.
Fajar utama berlari kencang sangat tak peduli, rangkaian selusin gerbong kereta api fajar utama dengan senang hati menerobos pemukiman padat rumah penduduk dan pasar-pasar ilegal yang berada sekitar 1 meter dari pinggir-pinggir rel kereta api.
Karena tak seperti halnya kendaraan-kendaraan besi yang dapat menge-rem secara mendadak laju kecepatannya, laju kereta api membutuhkan waktu per sekian menit untuk berhenti. Maka aku yakin, bila ada orang ceroboh yang melintasi rel kereta api tanpa acuh tak acuh untuk melongok ke kanan dan ke kiri. Maka sekejap saja nyawanya dipastikan akan lenyap dan langsung menghadap-Nya, bahkan tak dijamin anggota tubuhnya takkan rontok berceceran dan lebih parah lagi, hilang entah kemana.
Terkadang ku melihat beberapa pakaian dari penduduk sekitar yang dijemur ditengah-tengah-diatas batu kerikil-diapit diantara dua rel berterbangan kesana-kemari. Terhempas udara yang mengalir sangat kencang dari laju kereta api fajar utama dan kereta api lainnya yang kebetulan sedang melintas. Meskipun semua jemuran mereka sudah diberi batu berukuran cukup besar dan berat di atas pakaiannya, cukup untuk membuat anjing gila kelenger karena ulah anjing itu sendiri yang berlari-lari mengejar orang. Tetapi tetap saja, semua jemuran mereka tak terjamin untuk berantakkan kesana-sini.
Di dalam benakku, aku rindu ingin segera melihat persawahan berwarna hijau alami yang terhampar sangat luas dan dilatar belakangi dengan gunung beserta bukit-bukitnya yang ditumbuhi pepohonan liarnya yang menjulang sangat tinggi. Aku juga rindu melihat beberapa petani yang sedang menggembalakan beberapa binatang ternaknya. Entah itu beberapa ekor kerbau, kambing, atau sekawanan kelompok bebek yang sedang berenang di sungai pedesaan atau persawahan yang telah di-airi dan tak ditumbuhi tanaman padi.
Hampir 3 jam setelah kereta api fajar utama meninggalkan stasiun senen. Saat ini aku telah lelah dan jenuh melihat pemandangan yang itu-itu saja dan terasa sangat monoton yang tersaji di luar kereta. Rumah-rumah dengan pemukiman padatnya dan sesekali garis pembatas lintasan kereta api muncul dengan suara alarmnya, berikut kendaraan-kendaraan besinya yang sekarang sedang berhenti menunggu, karena pada saat ini kereta api fajar utama sedang melintas tepat di depan mereka adalah pemandangan yang sangat membosankan dan monoton itu.
Pemandangan yang membosankan tersebut seakan membuat perih kedua mataku. Ditambah lagi, dengan rasa kantuk yang menyerangku dengan hebatnya dan berakibat membuat kedua mataku secara perlahan-lahan naik turun lalu terpejam begitu saja. Padahal aku fikir, sebelum jam sahur terakhir kali tiba aku sudah cukup tidur dengan nyenyak pula.
Sementara ini kedua mataku terpejam, tetapi kini hawa panas yang sedang melanda di dalam kereta api fajar utama langsung menyergap seluruh anggota tubuhku. Sekejap saja karena tak tahan dengan panasnya, pori-pori kulit terus mengeluarkan cucuran air keringat yang mengalir dan membasahi sebagian kaos berwarna hitam yang sekarang aku kenakkan. Hawa panas itu datang dan ada karena pada saat ini waktu telah menunjukkan pukul 12:20, maka sinar matahari pun sedang riang-riangnya menyinari bumi, khususnya sebagian dalam kereta api fajar utama ini. Dan harap maklum karena kereta api ini kelas bisnis, dan bukan kelas executive. Maka jangan heran kalau di dalam gerbong kereta tak ada alat modern pada zaman ini yang berupa air conditioner yang menyejukkan seisi ruangan yang telah dialiri udara dinginnya. Yang ada di dalam kereta ini hanyalah kipas yang berposisi menggelantung diatap dalam kereta dengan debu hitamnnya yang melekat erat di dalam kipas. Meskipun kipas renta itu berputar dengan kecepatan maksimal dari putaran baling-baling kipas tersebut, tetapi hawa di dalam gerbong 6 masih saja tetap panas. Sebagian para penumpang pun seperti tak puas dengan udara yang berasal dari kipas renta itu, mereka masih terus mengipasi wajahnya yang telah dipenuhi air keringat dengan menggunakkan kipas berbahan rotan, koran, ataupun sapu tangan.
Aku terjaga dari tidurku sesaat setelah rangkaian selusin gerbong kereta api fajar utama tiba untuk berhenti selama sekitar 5 sampai 7 menit di stasiun besar-di kota Cirebon. Karena sesuai peraturannya di tiap-tiap stasiun besar, setiap kereta api kelas executive, bisnis, maupun ekonomi akan menghentikkan perjalanannya untuk beberapa menit.
Karena tarif harganya yang cukup mahal, maka kereta api kelas executive cukup “diistimewakan”. Selain fasilitas-fasilitasnya yang nomor satu-yang berada di dalam kereta api kelas executive. Di tiap-tiap stasiun besar, kereta api kelas executive ini pun takkan berhenti dengan waktu yang lama. Sekarang ini ku melihat dari kaca pada seberang dari tempat dudukku-di baris bangku yang kanan, rombongan selusin gerbong dari kereta api kelas ekonomi pun menghentikkan perjalanannya untuk beberapa menit. Kalau diibaratkan, mungkin kereta api kelas ekonomi seperti “anak tiri”, karena tarifnya yang merakyat maka fasilitas-fasilitas yang berada di dalam kereta pun kurang memadai, dan ketika kereta api kelas ekonomi tiba di stasiun-stasiun besar maka ia akan berhenti cukup lama, tak kurang dari 10 menit atau bahkan lebih. Maka jangan heran ketika kereta api kelas ekonomi membutuhkan waktu yang cukup lama beberapa menit dari kereta api kelas lainnya untuk tiba pada tujuannya.
Setelah kereta api fajar utama tiba di stasiun Cirebon, para pedagang asongan yang sehari-harinya mangkal untuk mencari nafkah di stasiun itu langsung menyeruak masuk kedalam kereta, berdesak-desakkan dan berhimpit-himpitan dengan para penumpang kereta yang tak kebagian kursi di dalam kereta. Sesekali para pedagang asongan ini berbicara untuk menjajakan aneka macam dagangan mereka kepada penumpang kereta, tetapi mereka berbicara seolah seperti sedang berteriak dengan cukup lantang. Mungkin mereka berbicara seperti berteriak dengan lantang karena hendak ingin menjajakan dagangan mereka kepada para penumpang kereta dan juga ingin membangunkan para penumpang yang sedang terlelap tidur untuk memberitahukan kepada mereka.
“Jikalau Raja dan Ratu lapar atau haus, maka segera belilah dagangan kami yang murah meriah ini daripada menu makanan dan minuman yang dijual di restorasi di dalam kereta ini, dan dapat kami pastikan Raja dan Ratu akan merasa puas setelah menyantap dan menikmati segala hidangan yang kami sediakan”. Mungkin begitulah maksud perkataan mereka di dalam hatinya.
Setiap dan selama kereta api fajar utama berhenti di stasiun besar, suasana pun langsung berubah menggeliat alangkah ramainya, alangkah padat dan sesaknya, alangkah bisingnya, alangkah sumpeknya, dan alangkah baunya-bau keringat dari badan para penumpang kereta atau para pedagang asongan itu.
“Mas, dodolnya. Ada rasa orisinil, rasa duren, nanas, kacang ijo, dll. Dijamin uenak tenan lho mas, iki kanggo oleh-oleh wae”. Berkata salah satu pedagang asongan dengan bahasa dan logat jawanya yang kental dan khas, sambil menjulurkan tangan kanannya yang memegang bungkus dodol.
Samar-samar ku mendengar suara lantang dari pedagang asongan lainnya yang sekarang juga sedang menawarkan dagangannya kepada para penumpang lainnya di dalam gerbong 6. Mereka menawarkan dagangannya, tetap berbicara dengan bahasa dan logat jawanya yang kental dan khas.
“Pecel. . . . Pecel. . . .Pecel bu, mas ?
“Nasi Rames. . . .Nasi Rames. . . .Nasi rames pake ayam, pake telur”.
“Yang dingin. . . .Yang dingin. . . .Yang dingin mas aqua’ne, fanta, sprit, coca cola, pocari sweat”.
“Sayang anak. . . .Sayang anak. . . .Bonekanya mas, kanggo anak’e”.
“TTS. . . .TTS. . . .Teka-teki silang’ne mas”.
Selama hampir 6 menit kereta api fajar utama singgah di stasiun Cirebon. Setiap kali seluruh rangkaian selusin gerbong kereta api fajar utama berhenti, maka hentakkan dengan dorongan yang agak keras dari gerbong masinis kereta adalah awal dari dimulainya kembali perjalanan menuju stasiun Semarang Tawang. Ketika hentakkan dan dorongan yang agak keras itu terjadi per sekian detik, terkadang beberapa penumpang kereta tersentak karena terkejut hebat. Maka tak jarang bila ada beberapa penumpang yang sedang berdiri tak seimbang dengan bersandar atau memegangi bilik-bilik kereta, mereka akan terdorong entah kesamping kanan atau kiri. Dan beberapa penumpang lainnya yang sedang duduk di kursi, entah mereka sedang makan dari nasi bungkusnya, atau mereka sedang minum dari minuman kalengnya dan minuman botolnya, atau beberapa penumpang yang sedang terlelap tidur. Mereka akan terdorong cukup keras ke arah depan. Dan tak jarang juga beberapa kakek atau nenek yang berusia lanjut menggumam dengan mengelus dada sambil berkata.
“Masya ALLAH. . . .”
Kereta api fajar utama mulai kembali bergerak dengan berjalan perlahan-lahan di atas bantalan rel kereta api. Kencang, aman, dan terkendali adalah gambaran ketika masinis kereta mulai menambahkan kecepatan maksimum dari laju kereta.
Kini pemandangan di luar kereta telah berubah 360 derajat dari 3 jam yang lalu setelah meninggalkan stasiun senen. Kini apa yang aku rindukan telah menjadi kenyataan. Dari balik kaca kereta telah tersedia segala menu dari pemandangan alam-Nya. Hamparan persawahan yang sangat luas berwarna hijau alami, berikut latar belakangnya yang indah, dengan pegunungannya yang terlihat samar-samar timbul tenggelam dan bukit-bukit dengan pepohonannya yang tumbuh dengan liar dan menjulang sangat tinggi. Dan tak lupa, beberapa petani yang sedang menggarap lahannya dan beberapa petani lagi yang sedang menggembalakan hewan ternaknya adalah menu pemandangan pertama pada siang hari ini. Untuk menolak dari ganasnya sinar matahari yang sedang terik-teriknya pada siang hari ini, mereka (petani) menyiasatinya dengan berpakaian tertutup dan menggunakkan topi caping.
Pemandangan mempesona mata tersebut terus berlanjut hingga di sisa-sisa perjalanan menuju stasiun Semarang Tawang. Suasana hingar bingar juga seakan terus berlanjut ketika rangkaian selusin gerbong kereta api fajar utama singgah untuk beberapa menit di stasiun-stasiun besar.
Kini rangkaian selusin gerbong kereta api fajar utama telah tiba di stasiun besar-di kota Tegal. Tetap dengan suasana hingar bingarnya yang hampir sama pada saat kereta ini singgah di stasiun Cirebon beberapa jam yang lalu.
Di tengah-tengah kepadatan para penumpang dan para pedagang asongan yang hilir mudik memadati dalam gerbong kereta, muncul beberapa orang pengemis dan anak-anak tunawisma yang sedang bekerja untuk mencari beberapa uang logam yang dihibahkan para penumpang kereta guna menyambung kelangsungan hidup mereka. Kebanyakkan dari mereka bekerja sebagai pengemis, pelantun ayat-ayat suci Al-Qur’an, dan beberapa anak bekerja guna membersihkan bawah-bawah dari kursi-kursi para penumpang yang terlihat sangat kotor. Mereka berpakaian seadanya karena tak mau peduli dengan trend mode pakaian saat ini, karena mereka pun tak sanggup untuk membelinya. Kaos, celana, dan sandal jepit yang sudah lusuh, kotor, lagi kumal adalah penampilan cuek dan apa adanya dari mereka. Sebagian dari mereka putus sekolah dan bekerja serabutan seperti itu karena paksaan dari bagian hidup yang mereka jalani. Entah sampai kapan mereka menjalani ke-semua hal itu, karena mereka hanya bisa melakukan hal itu saja dan tak ada yang lain, dan karena dengan cara itulah mereka dapat mengais rezeki untuk menanggung semua kebutuhan hidup yang mereka inginkan.
Tepat berada di dekat-disamping kursiku, seorang anak kecil (pria) berumur sekitar 12 tahun telah mengambil posisi jongkok karena hendak ingin melakukan pekerjaannya, dengan menyapu kolong kursi dari tempat dudukku yang terlihat kotor. Secara spontan lalu kuangkat kedua kakiku ke atas kursi ketika secara mengejutkan tangan kanannya langsung bergerak menyapu kolong dari kursi tempat dudukku yang terlihat kotor dengan debu. Setelah selesai melakukan pekerjaannya, lalu dia memandangiku, pertanda kalau dia sedang menunggu haknya. Pada saat itu juga aku langsung terngiang perkataan dari saudara perempuanku yang dulu pernah merasakan dipelototi oleh anak kecil penyapu kolong kursi. Mungkin karena saudara perempuanku ini tak memberikan hak dari anak penyapu kolong kursi setelah melakukan pekerjaannya yang berupa uang logam atau kertas, maka tak heran saudara perempuanku ini langsung dipelototi oleh anak penyapu kolong kursi itu. Seperti tak mau mengalami hal yang dialami oleh saudara perempuanku dan sebenarnya aku juga sudah berniat untuk memberikan apa yang menjadi haknya setelah anak penyapu kolong kursi itu melakukan pekerjaannya.
Sekarang jam arlojiku telah menunjukkan tepat pada pukul 14:00 siang hari dan kini rangkaian selusin gerbong kereta api fajar utama telah melewati stasiun-stasiun kecil dan sudah berhenti untuk beberapa menit di stasiun-stasiun besar. Seperti stasiun Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, dan Pekalongan.
Setelah melewati stasiun kecil-stasiun Batang, kini laju kereta seperti tak terlalu kencang dan seolah diperlambat oleh sang masinis kereta. Sementara ini, diluar kaca kereta-di seberang kiri dari tempat dudukku, terlihat dengan jelas pemandangan alam-Nya yang khusus disuguhkan untuk para penumpang kereta. Pemandangan hamparan laut yang memesona hati dengan beberapa perahu-perahu nelayan adalah menu kedua dari pemandangan alam-Nya kali ini. Gabungan dua warna laut dan langit dan beberapa aneka macam warna dari perahu-perahu nelayan seolah menjadi warna baru dari pelangi di pemandangan kedua kali ini.
Warna coklat keruh lagi kotor menghiasi air, batu, dan karang-karang besar yang banyak jenisnya berada di tepi-tepi laut. Dan sekitar 20 meter dari tepi-tepi laut, warna air laut berubah menjadi biru dan sangat jernih, seperti warna langit pada siang hari ini. Dan ditambah dengan aneka macam warna dari perahu-perahu nelayan, seolah menambah semarak tersendiri bagi warna baru dari pelangi di pemandangan kedua kali ini. Aneka macam warna dari perahu-perahu nelayan itu adalah hitam, putih, abu-abu, coklat, dan warna-warna pelangi pada umumnya.
Dari balik kaca kereta, hampir semua mata para penumpang di gerbong 6 terus saja tertuju pada pesona laut yang terhampar sangat luas dan begitu indah. Dan beberapa anak-anak kecil yang ada di gerbong 6 bertingkah riangnya bukan main. Mereka berdiri diatas bangku, melonjak-lonjak kegirangan, berteriak-teriak tentang indahnya pesona laut, sambil jari telunjuk mereka diarahkan ke hamparan laut luas. Orangtua dari anak-anak tersebut pun dibuat cukup kerepotan, tetapi mereka terus sabar mengatasi tingkah pola anak-anaknya yang terus berteriak semakin menjadi-jadi. Orang tua mereka takut kalau-kalau beberapa penumpang lain bisa terjaga dari tidur nyenyaknya. Beberapa penumpang ini terus saja tidur dengan nyenyaknya, seolah tak mau ambil peduli dengan pesona laut yang sekarang telah tersedia di balik kaca kereta.
Hampir 15 menit, pesona laut terhampar luas di luar kaca kereta. Pesonanya sendiri seperti menghipnotis para penumpang kereta yang pada saat ini sedang melihat keindahannya. Lewat dari 15 menit, pesona laut pun timbul tenggelam, terkadang terlihat terkadang tidak. Pepohonan besar dan pohon-pohon jati yang tumbuh sangat rapi beraturan di sekitar 50 meter dari tepi-tepi pantai seolah menutupi segala pesona yang ada dari laut tersebut. Lagipula rel kereta api pun perlahan-lahan menjauh dari tepi-tepi laut.
“Setelah melewati laut, pertanda beberapa jam lagi kereta api fajar utama akan segera tiba di stasiun Semarang Tawang”. Begitulah bapakku berkata ketika umurku masih 10 tahun. Meskipun umurku sekarang 18 tahun, tetapi tiap tahun-tiap kali mudik-tiap kali melewati laut-maka perkataan bapak terus saja terngiang di dalam fikiranku.
Tak terasa sudah, aku telah menikmati dua menu pemandangan dari alam-Nya yang sangat memesona hati pada siang hari ini dari balik kaca kereta. Kini kedua mataku mulai naik turun kembali, kiranya aku sudah ngantuk lagi. Kedua mataku pun langsung terpejam dan sementara kepalaku aku sorongkan miring disamping kaca kereta. Di sisa-sisa perjalanan ini aku tertidur lagi untuk menunggu agar secepatnya rangkaian selusin gerbong dari kereta api fajar utama segera tiba di tujuan akhir.
Aku terjaga dari tidurku sesaat setelah kereta api fajar utama tiba-tiba menghentikkan perjalanannya, padahal disini bukan stasiun besar.
“Ah. . . .Mungkin saja sebentar lagi kereta api kelas executive yang menuju arah Jakarta atau arah yang sama seperti arah kereta kami-yaitu arah stasiun Semarang Tawang akan segera lewat”. Fikirku dalam hati.
Benar saja, 3 menit sesaat setelah kereta api fajar utama berhenti di sekitar areal persawahan. Kereta api kelas executive datang dari arah tujuan kami menuju arah Jakarta, tak kulihat satu orang pun didalam kereta api kelas executive itu.
“Mungkin kereta itu kembali ke Jakarta hendak ingin mengangkut para penumpang yang hendak ingin mudik kembali”. Fikirku dalam hati
Kereta itu melaju sangat kencang terkendali, gorden-gorden di dalam kereta api fajar utama pun langsung terhempas karena terkena udara yang sangat kencang dari laju kereta api kelas executive.
Selepas kereta api kelas executive meninggalkan sisa-sisa angin kencang di dalam gerbong 6, kereta api fajar utama pun mulai kembali bergerak, berjalan perlahan-lahan, lalu bertambah kencang dan terkendali. Aku melihat jam yang senantiasa melekat erat di tangan kiriku dan sekarang waktu pun telah menunjukkan pukul 15:00, mungkin beberapa menit lagi kereta ini akan segera tiba di tujuan akhirnya. Menjelang sore-di sisa-sisa perjalanan ini, areal persawahan berikut beberapa petani yang masih saja sedang menggarap lahannya dan menggembalakan hewan ternaknya terus menghiasi pemandangan di luar kaca kereta.
Saat ini suasana di dalam gerbong 6 tak sepadat seperti sebelumnya, karena beberapa penumpang telah tiba dan telah turun di stasiun-stasiun besar yang telah dilewati oleh kereta ini sebelumnya Beberapa penumpang yang tak kebagian tempat duduk pun, sekarang telah menempati kursi-kursi kosong yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya.
Rangkaian selusin kereta api fajar utama kini telah memasuki stasiun pasar Poncol, pertanda kereta ini telah tiba di kota Semarang. Beberapa penumpang yang memang mudik untuk tujuan akhir Semarang Tawang sekarang terlihat sedang mengemasi barang-barang bawaannya, tas-tas milik mereka yang berukuran cukup besar diambil kembali dari bagasi atas-dalam kereta ini. Meskipun beberapa penumpang perempuan tak terlihat sedang mengambil tas-tas berat milik mereka yang berada di bagasi atas, karena tugas itu telah dibebankan oleh suami, pacar, atau saudara laki-laki mereka. Tetapi penumpang perempuan pun terlihat tak kalah sibuknya dengan penumpang laki-laki. Dengan peralatan rias yang kini sedang berada di tangan, mereka merias untuk mempercantik wajah mereka kembali, karena alas bedak yang dipadatkan di wajah mereka telah luntur tersapu oleh air keringat mereka.
Dengan selamat, syukur alhamdulillah. . . . . Rangkaian selusin gerbong kereta api fajar utama telah tiba dengan selamat di tujuan akhir-stasiun Semarang Tawang. Kini kepadatan tak lagi menghinggapi gerbong dalam kereta dengan segala hiruk-pikuk para penumpangnya. Di dalam gerbong 6, para penumpang kereta dengan tertib mengantri. Bergiliran satu sama lain untuk turun-satu persatu keluar dari pintu kereta dengan menginjak anak tanggga kecil yang berjumlah 3 buah-yang telah disediakan oleh petugas di stasiun ini.
Di sebuah loket tiket pada stasiun Semarang Tawang, langkah kami berhenti sesaat untuk membeli beberapa lembar tiket jurusan Jakarta. Bapak menghadap kami dan berkata.
“Jika tak sekarang membeli tiket balik ke Jakarta, nanti kita takkan kebagian tempat untuk duduk di kereta”. Begitulah bapak berkata kepada kami mencoba untuk menyarankan.
Sekelompok pria-pria pekerja keras berumur antara 23-45 tahun berdiri di depan pintu masuk pada stasiun Semarang Tawang, sesekali pria-pria pekerja keras itu menawarkan angkutan jasa mereka kepada para penumpang kereta yang hendak ingin ke daerah tujuannya. Kami pun tak lepas dari beberapa penumpang kereta yang ditawari oleh para pria-pria pekerja keras tersebut. Pria-pria pekerja keras itu adalah supir-supir kendaraan-kendaraan besi. Baik itu supir kendaraan besi roda empat (Taksi) atau supir dari kendaraan sepeda bertenaga kekuatan orang (becak).
“Mari sini, kami akan membawa Tuan-tuan sekalian ke daerah tujuan”.
Mungkin begitulah maksud para pria-pria pekerja keras itu menawarkan jasa angkutannya kepada penumpang kereta.
Kami berada di depan pagar luar dari stasiun Semarang Tawang. Langit sore terlihat sudah mendung dan gelap gulita tetapi belum menangis, sekumpulan awan hitam telah saling merapat, berkelompok, dan berarak-arak. Lalu kawanan awan-awan hitam tersebut tersapu oleh angin yang berhembus sangat kencang menuju ke arah utara, dan sesekali suara gemuruh yang berasal dari petir yang sedang bersembunyi di balik awan hitam bergelegar alangkah kencangnya dan cahaya kilatnya seperti dengan senang hati menjilati seluruh permukaan tanah di kota Semarang. Suara yang sedang bergemuruh nun jauh di atas sana-di langit yang maha luas, membuat orang-orang dibawahnya secara spontan mengucapkan asma ALLAH.
Disini, sebuah mini bus berwarna hijau sedang membawa kami menuju sebuah terminal di kota Semarang. Kami menuju ke terminal karena kami hendak ingin mengoper dengan bus lainnya untuk membawa kami ke tujuan akhir kami-didesa Lopait.
Bus besar dengan fasilitas Ac-nya yang berwarna hijau lagi dengan nama Safari tujuan Salatiga-Solo bergerak meninggalkan terminal menuju tujuan akhir-yaitu terminal kota Solo. Suasana di dalam bus cukup sepi karena hanya ada 8 orang penumpang saja, termasuk di dalam penumpang tersebut adalah kami yang kini duduk di kursi paling depan dekat dengan kursi pak supir.
Karena di kota Semarang ini jarang adanya halte-halte bus, maka hampir di tiap-tiap tepi jalan yang sedang dipadati orang yang sedang berdiri, sambil wajahnya melongok ke arah jalan yang berlawanan darinya, maka dapat dipastikan orang itu sedang menunggu kedatangan bus. Bus kami selalu berhenti di tiap-tiap tepi jalan yang sedang dipadati banyak orang, dan satu-persatu penumpang bus lalu mengisi bangku-bangku yang kosong di dalam bus. Dan kini semua bangku yang kosong di dalam bus telah terisi penuh oleh para penumpang bus.
Langit yang sedeang bermuram durja di depan pagar luar stasiun Semarang Tawang tadi, kini sedang menangis alangkah derasnya. Dan sekarang sebuah jalur tanjakkan cukup terjal menghadang perjalanan bus kami. Perlahan-lahan dengan kecepatan maksimal dari gigi dua, bus terus melaju melawan arus dari jalur tanjakkan tersebut. Laju dari keempat roda bus pun terdengar seperti terpaksa untuk berjalan. Di suatu puncak dari jalur tanjakkan ini yang tingginya hampir 1500 meter terbentanglah sebuah pemandangan yang sangat mempesona hati para penumpang bus. Mungkin para penumpang bus yang memang berdomisili di kota ini, mereka akan menganggap pemandangan tersebut adalah hal yang lumrah dan biasa saja karena pemandangan itu selalu tersaji ketika mereka pergi untuk bekerja dengan menumpang bus tujuan akhir terminal kota Solo. Tetapi bagiku pemandangan itu tak sekedar biasa, tetapi sungguh amat luar biasa. Karena hanya sekali dalam satu tahun aku bisa menikmatinya.
Pemandangan itu sendiri adalah berupa bukit yang menjulang sangat tinggi dan seolah seperti tinggi gunung yang berukuran mini. Pepohonan hijaunya dan struktur tanahnya yang tak beraturan menambah kesan alami dari bukit itu. Dan tak lupa, di bukit-bukit itu banyak terdapat rumah-rumah permanen, hotel, atau tempat penginapan lainnya milik penduduk sekitar.
Bus masih terus melaju di atas aspal jalan raya untuk melanjutkan sisa-sisa perjalanannya. Sebuah papan besar mirip baliho tetapi berukuran lebih kecil yang terpasang di atas kedua besi penyanggah yang berdiri tegak dengan dua ujung besi itu terkubur mati di dalam aspal jalan raya menandakan kalau kami telah sampai di kota Ungaran. Papan besar itu sendiri bertuliskan.
SELAMAT DATANG DI KOTA UNGARAN
Ya. . . . Bus kami telah tiba di kota Ungaran, pertanda beberapa menit lagi kami akan tiba di desa lopait. Pemandangan di luar kaca bus masih tetap sama, bukit-bukit yang ditumbuhi pepohonan hijau dan rumah-rumah permanen dari penduduk sekitar masih menghiasi di sisa-sisa perjalanan ini-di kota Ungaran. Tetapi di luar kaca bus telah terlihat sebuah gunung yang tak terlalu tinggi seperti gunung pada umumnya, gunung Ungaran namanya. Meskipun tak terlalu tinggi tetapi gunung Ungaran seperti menjadi pemandangan dengan daya tarik tersendiri yang terlihat dari depan kaca pak supir bus.
Sekarang bus kami memasuki areal terminal dari terminal Bawen. Tetapi bus tetap melaju tidak untuk berhenti, hanya untuk berputar arah saja. Sesekali kenek bus melongok dari kaca pintu depan bus yang telah dibuka setengah dari pintu kaca tersebut. Dia berteriak sambil jarinya ia tunjuk seperti dipermainkan dengan digoyang-goyangkan ke arah kerumunan banyak orang yang sedang berdiri menunggu bus.
“Ya. . . .Solotiga. . . .Solotigo. . . .Solo. . . .Solo. . . .Solo. . . .”
Selama hampir satu setengah jam, bus kami melaju di atas aspal jalan raya dan telah melintasi kota Candi, Ungaran, Karangjati, Bawen. Dan setelah melewati pemandangan yang menarik lainnya, yaitu pemandangan yang berupa hamparan tanaman teh yang sangat luas. Kini bus telah tiba tepat di depan tempat rekreasi dan sekaligus tempat rumah makan. Pak Gondo-begitulah nama pemilik sekaligus nama dari tempat rekreasi dan rumah makan tersebut.
Setelah turun dari bus, sarana ojek kami pilih untuk melanjutkan akhir perjalanan ke rumah kakek dan nenek dari ibuku yang berada di atas bukit-di desa Lopait.
Di seberang jalan dari tempat rekreasi dan sekaligus tempat rumah makan pak Gondo yang dilatar belakangi oleh sebuah tempat objek wisata, yaitu danau rawa pening dengan gunung Merbabunya yang tepat berada di belakangnya yang menjulang sangat tinggi alangkah indahnya terletaklah sebuah desa. Desa Lopait namanya, desa ini berada di dataran tinggi dan arah dari desa ini tepat menghadap ke arah tempat rekreasi sekaligus rumah makan pak Gondo dan tempat objek wisata tersebut dengan gunung Merbabunya.
Siang hari, pukul 10:20. Di sebuah pawon, rumah mbakku. Kami sedang menikmati beberapa apel susu yang bulan ini telah panen dari kebun. Sambil membelah apel dengan kedua tangannya (karena memang kulit apel susu tidak keras tetapi lebih terkesan cukup lembek), mbakku ini bercerita secara versinya kepadaku tentang asal-usul nama dari desa Lopait.
Menyeruput apel susu seolah seperti menyeruput secangkir teh hangat. Dan kemudian dia berbicara tentang topik pembicaraan pada siang hari ini, di tengah auman dua ekor sapi yang sedang memakan rumput hijau dan suara cicit dari beberapa ekor anak ayam dan induknya yang sedang memakan sisa-sisa apel susu yang jatuh ke tanah.
“Kamu tahu nggak Gung, mengapa desa ini dinamakan desa Lopait ?”. Mbakku ini memulai ceritanya dengan bertanya terlebih dahulu kepadaku.
Seperti tak mau berlama-lama terjebak untuk terus-terusan berfikir, dengan maksud untuk mencari sebuah jawaban atas pertanyaanya yang memang sebenarnya sama sekali tak ku ketahui.
“Nggak tahu tuh mbak. . . .!”.
Penasaran dan ingin mengetahui lebih lanjut atas kelanjutan ceritanya. Membelah sebuah apel susu, lalu aku kembali berkata.
“Coba ceritain mbak. . . .”.
“Nih sekarang aku ceritain”.
“Di zaman dulu kala, tempat (desa) ini tak mempunyai nama karena lebih menyerupai hutan yang banyak ditumbuhi dengan aneka macam pepohonan. Rumah-rumah penduduk pun sangat jarang, bahkan mungkin tak ada. Karena rombongan kerajaan telah menempuh perjalanan cukup panjang dan melelahkan untuk menuju suatu tempat, maka mereka pun memutuskan untuk beristirahat sejenak di hutan ini. Secara kebetulan persediaan makanan mereka pun telah habis. Maka raja atas nama kekuasaannya langsung menyuruh para prajuritnya untuk mencari makanan apa saja yang bisa untuk dimakan. Entah itu buah atau binatang. Sekian lama mencari, tetapi para prajurit kerajaan tidak jua menemukan pepohonan yang telah berbuah ataupun beberapa ekor binatang yang sedang berkeliaran di hutan ini untuk bisa diburu, dibakar, dan dijadikan suatu hidangan makanan. Dan kemudian di suatu bukit, para prajurit kerajaan mendapati sebuah pepohonan yang telah berbuah sangat banyak. Maka langsung dipetiklah beberapa buah tersebut yang mungkin berbentuk kecil dan berwarna biru kehitam-hitaman. Dan kemudian buah tersebut dihidangkan dihadapan raja. Dengan senang hati raja pun langsung menyantap sebuah dari buah tersebut, lalu secara spontan karena rasanya yang amat pahit, raja itu berkata.
“Lho ko’ Pait”.
“Karena kala itu di hutan ini hanya ada satu pepohonan yang ditumbuhi oleh buah kecil yang berwarna biru kehitam-hitaman dan terasa amat pahit, maka desa ini pun langsung dinobatkan oleh raja tersebut dengan nama desa Lopait”.
Desa Lopait terletak di sebuah dataran tinggi dengan bukit-bukitnya yang ditumbuhi dengan segala macam pepohonan yang menjulang sangat tinggi pula. Karena desa ini berada di dataran tinggi, maka udaranya pun masih sangat sejuk, khususnya di kala pagi hari. Bukit-bukitnya yang ditumbuhi pepohonan besar lagi liar dan semak belukarnya berperan sangat penting untuk menjaga kualitas udara di desa ini agar senantiasa tetap sejuk dan tidak terkontaminasi dengan asap knalpot dari kendaraan-kendaran besi yang berada di jalan raya-di bawah dari desa ini. Persawahan milik penduduk sekitar yang terbentang hingga menjulur sampai 10 meter dari tepi jalan membuat suasana desa ini pun semakin menggambarkan suasana asli dari sebuah desa yang belum terlalu terjamah dengan gedung-gedung modern.
Disini, jasa beberapa penduduk sekitar yang berprofesi sebagai tukang ojek dengan kendaraan besi roda dua mereka, berperan sangat penting bagi para penduduk sekitar lainnya yang rumahnya berada di dataran tinggi-di desa lopait. Para tukang ojek setiap harinya mangkal di bawah bukit desa ini-disuatu rumah yang dijadikan tempat bengkel, bengkel tersebut tepatnya berada 20 meter dari tepi jalan raya. Sarana ojek sendiri adalah pilihan utama bagi para penduduk sekitar untuk menuju rumah mereka selepas melakukan aktivitas mereka masing-masing. Entah itu pergi ke pasar, bekerja, dan bersekolah. Karena untuk berpergian ke beberapa tempat di atas tersebut, mereka harus turun bukit dari desa ini.
Setiap hari menjelang pagi buta, para penduduk sekitar turun bukit untuk menjalani segala aktivitas hidupnya masing-masing. Entah itu seorang lelaki atau perempuan setengah baya, nenek atau kakek yang disini dikenal dengan sebutan mbah yang hendak ingin pergi ke pasar Salatiga atau pasar Ambarawa untuk membeli persediaan kebutuhan hidup mereka yang telah habis. Atau beberapa orang yang hendak ingin bekerja, serta para remaja yang hendak ingin bersekolah.
Karena di desa Lopait ini hanya ada satu gedung sekolah. Ya. . . .Hanya ada satu saja, tak lebih, yaitu SD (Sekolah Dasar). Madrasah Tsanawiyah-begitulah nama dari SD itu. Maka, jika anak-anak di desa ini telah lulus dari SD, mereka pun melanjutkan karir pendidikannya di sekolah-sekolah SMP dan SMA di sekitar kota Semarang.
Gedung SD itu sendiri berada sangat dekat, tepat di samping kanan dari rumah kakek dan nenekku.Ketika kedua mata ini terus saja menatap gedung sekolah itu. Aku langsung teringat, terbayang, lalu secara tidak sadar terhipnotis dan aku seperti terbawa masuk kedalam lorong waktu di masa lampau. Dulu, aku adalah murid di SD ini, meskipun hanya seminggu merasakan belajar di SD ini. Karena setelah itu, seiring dengan perekonomian orang tua yang secara perlahan-lahan membaik, kemudian aku diboyong mereka untuk menetap di Jakarta dan disekolahkan disana.
Tak sulit untuk menggambarkan bangunan gedung dari SD ini. Bangunan gedung sekolah ini tak’ bertingkat dan hanya ada 6 ruangan kelas, dengan 2 ruang WC yang masih menggunakkan timbaan. Jalan masuk sekolah ini pun tak menggunakkan gerbang atau pagar. Jalan masuk sekolah hanya seperti layaknya jalan biasa saja dan luasnya berdiameter sekitar satu setengah meter. Genteng-genteng merah tua yang telah lama digunakkan sudah kehitam-hitaman karena dihinggapi lumut dan sejenisnya, tetapi masih tetap kokoh dan seperti menjadi tameng dari panasnya sinar matahari dan dinginnya air hujan. Tanaman-tanaman yang tumbuh di sekitar sekolah pun sangat terbatas, dan hanya pot-pot saja yang menjadi tempat pertumbuhan bagi tanaman-tanaman tersebut, selebihnya tak ada. Di belakang sekolah ini terdapat sebuah lapangan berukuran mini tempat bagi anak-anak kecil untuk bermain. Sebuah perosotan, ayunan, sebuah lingkaran berbentuk adalah permainan di lapangan tersebut. Tetapi dari lapangan ini, memandang nun jauh disana ada sebuah pemandangan yang menakjubkan yang diciptakan dari tangan yang maha kuasa. Rawa pening yang dilatar belakangi oleh gunung Merbabu hampir terlihat cukup jelas dari sini.
Mungkin karena desa lopait berada di dataran tinggi dan tidak terjamah dengan hiruk pikuk dari segala aktivitas orang modern seperti di Jakarta, maka para penduduk sekitar lebih memilih untuk melakukan segala aktivitas malam mereka di dalam rumah mereka masing-masing. Jika adzan Maghrib dan Isya menggema dan bertalu-talu dari salah satu masjid sekitar desa, maka para penduduk sekitar khususnya pria atau wanita setengah baya dan mbah-mbah yang berusia lanjut akan keluar dari rumah mereka masing-masing untuk melaksanakkan perintah-Nya. Dan setelah itu dapat dipastikan suasana malam di desa akan kembali sangat sepi, sunyi-senyap, dan lengang karena tidak adanya aktivitas dari para penduduk sekitar.
Suasana malam hari ini sangat kontras dan tak seperti biasanya, ditambah lagi langit pada malam hari ini pun sangat cerah, bentuk bulan penuh bersinar sangat terang, seperti tak mau kalah para gugusan dan rasi-rasi bintang keindahan-Nya menambah semarak suasana malam ini di desa lopait, maklum karena malam ini malam takbiran.
Beberapa masjid di sekitar desa dengan peralatan sound system seadanya, berikut suara lemah dari seorang mbah yang sedang mengumandangkan takbir didalam microphone, yang suara lemahnya disalurkan kedalam speaker toa yang bermulut besar bertalu-talu di seluruh penjuru desa lopait. Kini para penduduk sekitar, khususnya para remaja berkumpul di satu tempat-yaitu di sebuah perempatan desa.
Di perempatan sini suasana terasa sangat ramai sekali dengan segala hingar bingar dari segala aktivitas para remaja. Sesekali sumbu dari mercon-mercon berukuran cukup besar seukuran kepalan tangan orang dewasa yang memang dibuat sendiri (made in myself) oleh para remaja langsung disulut oleh sebatang korek api, dan sekejap saja mercon itu langsung meledak sedemikian hebat, bahan-bahan utama untuk pembuatan mercon yaitu lapisan kertas yang sangat padat berserakkan kemana-mana, bunyi ledak dari mercon itu memecah keheningan beberapa sudut-sudut desa, dan seolah seperti mengusik para arwah-arwah dari para penduduk sekitar yang dikubur di sebuah pemakaman yang berjarak sekitar 500 meter dari perempatan sini.
Takbir keliling, mengelilingi kota Semarang dan sekitarnya dengan menumpang truk terbuka menjadi pilihan utama para remaja disini untuk menyemarakkan malam takbiran. Gratis. . . .Ya gratis, alias tak usah membayar untuk bisa menyemarakkan malam takbiran dengan truk terbuka, karena salah satu penduduk disini yang berpenghasilan lebih dari cukup berinisiatif untuk membiayai semua dana dari penyewaan truk.
Karena tiga dari saudara perempuan dari kakak ibuku mengajakku untuk turut serta naik truk, maka malam ini pertama kalinya aku menyemarakkan malam takbiran dengan turut serta mengelilingi kota Semarang dengan naik truk terbuka seperti halnya yang dilakukan oleh para remaja di desa ini.
Tak berapa selang setelah semua para remaja naik ke atas dalam truk, lalu kunci kontak dari mesin truk pun diputar oleh pak supir dan sekejap saja badan truk langsung bergetar dan corong dari knalpot truk langsung berderu, maka wajah-wajah dari semua para remaja pun langsung riang gembira menyambut malam yang cerah ini untuk mengelilingi kota Semarang.
Keempat roda besar dari truk terus berputar sesuai porosnya, melintasi segala macam dari kegelapan desa. Karena memang jalan-jalan yang berada di sekitar desa lopait jarang diterangi oleh lampu-lampu penerang jalan. Keluar dari desa, pak supir langsung mengarahkan truknya ke arah kiri-menuju arah pasar Salatiga, karena memang disanalah salah satu tempat dari pusat keramaian selama malam takbiran ini berlangsung.
Disana-sini takbir sedang berkumandang sangat kencang alangkah merdekanya dan alangkah sakralnya. Baik di masjid, diatas mobil pick-up dan di atas truk yang telah dipasang toa seperti truk kami, tak terkecuali sampai ke arah masjid di pelosok-pelosok desa terpencil. Semua bersatu menyuarakan satu suara-yaitu suara kebesaran dari yang maha kuasa.
Benar saja adanya, pasar Salatiga seperti menjadi daya eksotika tersendiri saat malam takbiran berlangsung. Beberapa truk terbuka lainnya yang bermuatan para remaja yang sedang merayakan malam takbiran pada berkumpul disini-di pasar Salatiga ini. Selama hampir 15 menit truk kami berhenti sejenak. Lewat dari menit ke 15 dari pukul 20:30 truk mulai kembali bergerak, berlari, berkeliling kota ini.
Sementara ini di dalam truk, aku seperti orang asing di tengah-tengah puluhan para remaja yang terlihat kalau pada saat ini mereka sedang riang gembira satu sama lain. Meskipun didalam truk ini aku telah mengenal tiga orang saudara perempuan dan satu orang saudara laki-laki dari kakak ibuku dan satu lagi adik dari ibuku. Tetapi mereka sedang riang gembira dengan teman yang lainnya, maka aku pun sendiri. Tak seperti para remaja lainnya yang selama truk berlari di atas aspal jalan raya mengelilingi kota Semarang. Mereka banyak yang duduk di atas kepala truk atau yang berdiri di pinggir kanan dan kiri dari badan truk. Sementara aku terus saja mengambil posisi berdiri di tengah-tengah dalam truk, tepatnya punggungku aku sandarkan di sebuah tali tambang dan kedua tanganku memegangi sebuah tali tambang yang diikatkan disisi kanan dan kiri dari badan truk. Hampir 6 jam aku terus berdiri seperti itu sambil mencoba untuk menikmati perjalanan truk ini melintasi sudut-sudut kota Semarang.
Beberapa truk terbuka lain yang bermuatan puluhan para remaja dari desa lain melintas berlawanan arah di samping kanan dari truk kami. Ketika badan dari kedua truk itu berdekatan sampai berjarak sekitar hanya 20 cm, maka secara spontan para remaja di kedua truk tersebut langsung berteriak riang gembira sekencang-kencangnya dan sangat histeris. Begitulah seterusnya selama perjalanan mengelilingi kota Semarang berlangsung, para remaja di truk ini akan berteriak sejadi-jadinya ketika truk kami bertemu dengan truk terbuka dari desa lain. Mereka (para remaja) dari desa lain juga melakukan hal yang sama seperti yang kami lakukan.
Sekarang pukul 11:20, kini truk kami melintasi sebuah jalan raya dengan hamparan bukit-bukit tinggi yang berada di sisi kanan dan kiri dari jalan raya. Di jalan ini nampak lengang, truk pun melaju kencang sesuka hati, karena hanya beberapa kendaraan saja yang lewat di jalur ini. Cahaya dari beberapa lampu penerang jalan seolah mengusir segala kegelapan dan keseraman di sekitar bukit ini. Disini, selama truk melintasi jalur jalan bukit ini aku sungguh menikmati keindahan langit malam ini. Tetap berdiri pada posisi yang masih sama seperti sebelumnya, sambil kepalaku menengadah ke arah atas-ke hamparan langit luas yang kini bersinar dengan sangat cerah dan sangat indahnya. Semua bintang bersinar alangkah terangnya, mungkin semua dari segala jenis rasi bintang terlihat disini. Dan malam yg gelap gulita dengan ditemani ribuan cahaya bintang seperti malam ini adalah tempat favoritku, tempat dimana jiwa ini tenteram dan damai. Dan mungkin saja lukisan orang-orang yang kawan cintai sedang terhampar luas disana.
Selesai.
90This Article has written by : Bowosoedadi
Passion = minat, dan bisa jadi merupakan proses pencapaian. Passion tidak mengenal lelah atau menyerah. Bekerjalah sesuai passion, karena itu menyenangkan dan tidak akan terbebani saat melakukannya. Jika kawan merasa menulis bisa dijadikan sandaran hidup, juga menulis adalah salah satu yang bisa kawan lakukan, maka menulis lah dimulai dari sekarang. Menulis adalah passion-ku dan blogging adalah realisasinya. Semoga tulisanku bisa menjadi minimal inspirasi dan manfaat bagi kawan (pembaca) / blogger. Salam, :)
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. desa lopait - All Rights Reserved
Original Design by Creating Website Modified by Adiknya