Wacana Pemindahan Ibukota Kab. Semarang antara Bawen, Ambarawa, Tengaran, dan Tuntang - desa lopait
Headlines News :
Diberdayakan oleh Blogger.
Home » , » Wacana Pemindahan Ibukota Kab. Semarang antara Bawen, Ambarawa, Tengaran, dan Tuntang

Wacana Pemindahan Ibukota Kab. Semarang antara Bawen, Ambarawa, Tengaran, dan Tuntang

Written By Unknown on Selasa, 06 Januari 2015 | 05.23


PEMILIHAN lokasi calon ibu kota Kabupaten Semarang harus dilakukan dengan penelitian mendalam oleh pakar dari berbagai disiplin ilmu. Biasanya, hal ini dapat dilakukan bekerja sama dengan perguruan tinggi dan penunjukan konsultan yang membidanginya.
Tetapi benarkah Bawen paling ideal dijadikan calon ibu kota? Sebenarnya tidak, karena ada beberapa daerah lain yang lebih strategis dan realistis. Sedikitnya ada empat daerah yang bisa diajukan sebagai alternatif, yaitu Bawen, Ambarawa, Tengaran, dan Tuntang.
Masing-masing bisa dikaji dan dianalisa, untuk memilih lokasi yang paling baik dan memenuhi kriteria calon ibu kota. Karena itu, setiap daerah perlu diteliti keunggulannya, kemudian dibuatkan kompilasi data yang lengkap, dan selanjutnya dianalisis dari berbagai aspek.
Dengan demikian, akan diperoleh sebuah kota yang betul-betul memiliki prospek, serta menguntungkan bagi pertumbuhan dan pengembangan di masa mendatang. Sebab adanya kekurangan yang dimiliki calon ibu kota akan menimbulkan dampak negatif yang ~merugikan daerah, karena terperangkap oleh berbagai kesulitan yang muncul di kemudian hari.
Untuk memperoleh gambaran secara kasar, marilah kita amati keempat daerah yang kira-kira pantas untuk dicalonkan sebagai ibu kota Kabupaten Semarang.

BAWEN

Apabila mengamati keadaan geografis Bawen, secara fisik terdapat kondisi medan berbukit-bukit, dengan keadaan jalan naik-turun, berkelok-kelok secara terjal, serta memiliki jenis tanah yang liat berwarna merah, dan licin apabila terkena air hujan.
Masih ingat cerita tentang daerah Merakmati? Banyak orang merasa trauma dengan musibah kecelakaan yang terjadi di sana, dan banyak menelan korban jiwa. Tidak heran apabila sebagian orang yang berkendaraan dari arah Ambarawa akan memilih jalur alternatif.
Sesampai Bong Cina/Pasar Pon, mereka belok ke kiri, untuk menghindari keadaan yang membahayakan, dengan situasi jalan yang crowded serta kondisi jalan meluncur, miring, dan licin di waktu hujan.
Sejak dulu Bawen memang dikenal sebagai daerah kering dan minus, sulit mencari sumber air. Sebagian besar warga desa hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka bekerja sebagai buruh perkebunan karet dan kopi. Karena banyak penduduk hidup susah, tidak heran jika dulu banyak terjadi kasus pencurian maupun pembegalan, terutama di sekitar Kebun Asinan.
Di sisi lain, ada persyaratan yang harus dipenuhi bagi sebuah daerah agar bisa menjadi ibu kota kabupaten atau pusat administrasi pemerintahan. Yaitu terdiri atas sedikitnya 3-5 desa, dengan penduduk sekitar 5000-10.000 jiwa. Nampaknya, persyaratan ini sulit untuk dipenuhi oleh Bawen.
Sedangkan kondisi hinterland-nya sama sekali tidak mendukung pertumbuhan dan perkembangan kota di masa datang. Melihat kondisi seperti ini, sepatutnya kita bertanya, benarkah Bawen memiliki prospek menjanjikan di masa mendatang? Bagaimana menciptakan kondisi aman, tertib, bersih, sejuk dan indah?

TUNTANG

Tuntang merupakan daerah subur, baik di bidang pertanian tanaman pangan maupun perkebunan (kopi dan karet). Ada juga usaha peternakan di sejumlah desa. Lalu, di sepanjang tepi Rawa Pening terdapat ratusan hektare tanaman padi serta ikan dari rawa.
Kondisi perekonomian penduduknya relatif terjamin, baik sebagai petani maupun pedagang, yang kebanyakan berjualan di Pasar Salatiga. Setidaknya dibandingkan tiga daerah terdahulu.
Lokasinya pun relatif datar dan memiliki lahan luas, sehingga sangat mendukung pembangunan proyek perkantoran dan perumahan, dengan harga tanah yang relatif murah.
Apabila lokasi ibu kota -di mana Desa Lopait dijadikan pusatnya- digabungkan dengan Desa Kesongo dan Tuntang, tentu sudah memenuhi kriteria mengenai jumlah penduduk dan luas daerah.
Kehidupan penduduk di tiga desa itu pun relatif berkecuk~~upan dan mereka adalah pemeluk agama Islam yang baik. Apabila kawasan perkantoran, terutama prasarana fisik pemerintahan, dibangun di Desa Lopait menghadap Rawa Pening, tentu bakal memiliki pemandangan yang indah dan asri, dengan hamparan rawa yang legendaris sebagaimana yang digambarkan SH Mintardja.
Kalau dikembangkan sebagai daerah wisata alam, lokasi ini pun berpotensi besar untuk mendatangkan income daerah yang cukup menjanjikan. Barangkali ada pertanyaan, apabila kelak Tuntang menjadi ibu kota, apakah jalur wisata menuju Borobudur, Magelang, dan Yogyakarta akan terputus?
Tentu saja tidak demikian, karena pemkab dapat membuka jalur alternatif dari Tuntang, dengan melebarkan jalan dari jembatan Tuntang belok ke arah Ambarawa melewati Desa Asinan, Benteng Pendhem, RSU, menuju Palagan Ambarawa.

AMBARAWA

Keadaan geografis Ambarawa yang berbukit-bukit, tidak rata, serta dibelah dua sungai di dekat Kelenting/Palagan dan sebelah Pasar Projo, menyebabkan daerah ini sulit untuk dikembangkan. Selama puluhan tahun, keadaannya statis: begitu-begitu saja, tanpa perkembangan yang signifikan. Yang terlihat hanya keramaian lalu-lintas antara Palagan Ambarawa hingga Pasar Projo.
Kesemerawutan lalu-lintas itu jelas amat memusingkan aparat untuk mengaturnya. Meski sudah dipasang pagar pemisah di depan pasar, toh kemacetan tidak kunjung reda. Bahkan para pedagang kaki lima (PKL) makin merajalela dan mendesak badan jalan, karena sejak awal tidak segera ditertibkan.
Wajah Kota Ambarawa kini betul-betul makin bopeng dan renta. Banyak pengendara mobil pribadi dari arah Purwokerto dan Weleri memilih lewat Temanggung, lantas menuju Sumowono, dan muncul di sebelah utara Bawen (Hortimart). Itu dilakukan hanya untuk menghindari kesemerawutan Ambarawa dan Bawen yang semrawut, serta sangar alias angker.
Melihat kondisi demikian, tentunya Ambarawa tidak bakal memenuhi kriteria yang dipersyaratkan sebagai calon ibu kota, sebagaimana usulan beberapa kalangan di Kabupaten Semarang. Kalau dipaksakan, hanya penyesalan yang muncul di belakang hari.
Bagaimana dengan Tengaran? Daerah ini terletak di ujung selatan kabupaten yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Boyolali.
Sampai saat ini, pemkab berkesan menganaktirikan daerah tersebut, termasuk Susukan dan Suruh. Ketiganya seperti ''anak tiri yang tak pernah dijenguk orangtuanya''.
Banyak yang mengira, Suruh termasuk wilayah Salatiga. Karena itu, bisa dilihat bagaimana perkembangannya sejak dulu sampai sekarang.
Banyak pula yang menilai daerah ini tetap statis, tanpa kemajuan yang jelas. Padahal, apabila diamati, potensinya sangat bagus, dengan lahan yang datar dan tanah yang relatif subur.
Susukan merupakan daerah penghasil beras yang cukup produktif, sedangkan Suruh memiliki potensi industri kerajinan dan pertanian yang dipasok ke pasar-pasar di Salatiga -termasuk daging sapi dari Desa Kebowan.
Sedangkan Tengaran hanya dikenal sebagai penghasil susu sapi (mungkin karena letaknya berdekatan dengan Boyolali).
Kalau dikelola dengan sungguh-sungguh, Tengaran dan hinterland-nya bakal menjadi kawasan yang potensial mendukung pertumbuhan dan perkembangan daerah.
Sejak Salatiga ditetapkan sebagai sebagai kota, Tengaran, Susukan, serta Suruh makin jauh dari jangkauan Pemkab Semarang yang berada di ujung utara. Dengan kondisi seperti ini, tentu Tengaran juga belum waktunya diorbitkan jadi ibu kota kabupaten.
Sebaiknya benahi dulu kondisi Tengaran, dalam rangka untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Supaya tidak terlalu jauh ketinggalan perkembangannya, sebaiknya diusulkan dulu menjadi kota administratif.

Kesimpulan

Setelah mencermati empat lokasi yang bisa dijadikan calon ibu kota kabupaten, secara kasar dapat ditarik kesimpulan bahwa Tuntang merupakan alternatif yang paling memenuhi sejumlah kriteria.
Tetapi gambaran ini belum merupakan hasil final, karena perlu diteliti para pakar yang membidanginya.
Akhirnya segala persoalan yang menyangkut policy pembangunan tergantung sepenuhnya pada visi penguasa. Sebab, keberhasilan pembangunan di suatu daerah sangat dipengaruhi visi pemegang tampuk pimpinan di daerah bersangkutan.
Kalau pimpinan tidak menaruh kepedulian terhadap pengelolaan pembangunan, unsur staf bawahan dan masyarakat akan mengikuti saja. Artinya, mereka juga akan bersikap acuh tak acuh.
Keberhasilan pembangunan di suatu daerah juga tergantung kepekaan pengamatan dan orientasi pemegang kebijakan.
Karena itu, visi penguasa harus berorientasi pada program pembangunan da~lam skala makro, kemudian diaplikasi dan diproyeksi dalam skala mikro di daerahnya.
Sebaliknya, penguasa yang tidak memiliki cakrawala luas dan berdedikasi tinggi serta berinisiatif mangun karsa, sudah merasa puas dengan prestasi semu.
Dengan kata lain, tidak mungkin meraih prestasi yang maksimal dan berdaya guna serta berhasil guna.
Pimpinan yang bisa menjadi panutan, rela bila diberi predikat yang kadang bisa memancing emosi. Sebab masyarakat awam otomatis akan menyebutnya Bupati Tikus, lantaran prestasinya yang gemilang sebagai pelopor penggeropyokan tikus (bukan meniru sifat tikus yang rakus).
Bahkan ada sebutan Wali Kota Tlethong Kuda, karena kegigihannya dalam menjaga kebersihan kota dari kotoran kuda.
Atau sebutan Bupati Bebek dan Bupati Wedhus yang sukses memajukan peternakan bebek dan kambing di daerahnya.
Akhirnya kita lihat saja kelanjutan dari gagasan pemindahan ibu kota Kabupaten Semarang ini.

sumber SM
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. desa lopait - All Rights Reserved
Original Design by Creating Website Modified by Adiknya